March 28, 2008

Film “Ayat-Ayat Cinta” Itu…

Kayaknya bagi kamu yang stay tune mantengin berita seputar fenomena film
Ayat-Ayat Cinta bakalan ngeh dengan kehebohan film tersebut. Maklum, banyak
media nasional seperti kompakan menurunkan berita seputar kesuksesan film
tersebut bagi industri film nasional. Bahkan, Wapres Jusuf Kalla aja sampe
bela-belain nonton film Ayat-Ayat Cinta di bioskop membaur dengan penonton
umum lainnya. Waduh, jarang-jarang nih ada film nasional yang sampe
ditonton sama petinggi negara di bioskop.


Sekadar informasi aja, setelah dirilis resmi pada 28 Februari 2008
lalu, film garapan rumah produksi MD Pictures ini berhasil menorehkan
sejarah sebagai film paling laris sepanjang masa. Baru empat hari diputar,
Ayat-Ayat Cinta sudah membukukan jumlah 700.000 penonton. Jumlah penonton
terus bertambah hingga tembus angka 2,9 juta hanya tiga minggu setelah
beredar. Kini dapat dipastikan jumlah penonton sudah lebih dari tiga juta
orang (SINDO, 23 Maret 2008)
Oya, angka itu hanya dihitung dari penonton yang nonton di bioskop,
belum lagi yang nonton via VCD/DVD bajakan yang beredar luas. Kayaknya bisa
lebih banyak lagi tuh. Wis, pokoke pol banget dah. Film yang diangkat dari
novel karya Kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman el-Shirazy ini memang
diprediksi bakalan sukses. Maklum, bukunya aja udah tercetak sekitar
400.000 eksemplar. Belum lagi kalo dihitung dengan buku bajakannya
bisa-bisa lebih dari itu. Maklum, para pembajak tahu betul buku (termasuk
film) apa saja yang lagi laris di pasaran. Hehehe…
Meski demikian, sukses film Ayat-Ayat Cinta ini rupanya diiringi juga
dengan pro-kontra. Banyak yang mendukung, tapi nggak sedikit pula yang
protes keras. Mulai dari isi cerita di film beda jauh dengan isi di
novelnya, bahkan ada perbedaan yang sangat fatal seperti tidak
ditampilkannya di film padahal itu termasuk bagian penting dari isi novel.
Sebagian blogger yang memprotes film tersebut bahkan mempertanyakan
masalah fikih (syariat) dalam film itu. Misalnya, boleh nggak sih adegan
Fedi Nuril ama Rianti Cartwright di film itu? Gimana pun juga kan mereka
bukan mahram. Belum lagi ada kesalahan penyebutan definisi ahlu dzimah yang
keliru dan tidak pada tempatnya. Saya nggak tahu apa kutipan itu ada di
bukunya juga apa nggak, jadi nggak bisa bedain. Tapi yang jelas dialog di
film tersebut yang menyampaikan suatu istilah dengan keliru harus segera
diluruskan.
Oya, film tersebut emang nggak semuanya memuat kesalahan, ada juga yang
benarnya kok. Seperti syariat poligami, aturan ta’aruf, tentang sabar dan
ikhlas, tapi semua itu jadi hambar gara-gara ada beberapa bagian yang
terpenting malah dihilangan dalam film.
Memang sih, Hanung Bramantyo sebagai sutradara ngasih komen dengan
maraknya protes terhadap karyanya tersebut, khususnya yang membandingkan
dengan isi novelnya, “Harus dipisahkan antara novel dengan film, keduanya
merupakan medium yang berbeda.” (SINDO, 23 Maret 2008)
Oke deh, terlepas dari pro dan kontra terhadap film Ayat-Ayat Cinta
dari perbedaan antara isi cerita di novel dan film, tapi Ayat-Ayat Cinta
juga perlu dikritisi. Terutama dari sisi penyampaian pesan Islam dan media
penyampaian pesannya. Sebab, orang udah kadung ikutan heboh dengan tema
“cinta” yang diusung dan “konflik emosi” yang bertaburan di film tersebut,
jadi kurang kritis. So, tanpa maksud bikin suasana tambah ‘runyam’,
akhirnya gaulislam ikut ngebahas dari sisi lain agar menjadi perhatian kaum
muslimin untuk bisa menempatkan persoalan dengan benar.

Tak berani suarakan Islam
Boys and gals, ada satu adegan yang dipotong di film tersebut yang beda
jauh alias bertolak-belakang dengan cerita di novelnya. Demi mengedepankan
sisi toleransi, Hanung memang mencoba menghilangkan beberapa adegan yang
sekiranya memicu polemik. “Adegan seperti wartawan Amerika bernama Alice
dan Maria seorang Kristen Koptik yang akhirnya masuk Islam, itu saya
hilangkan, karena saya tidak ingin film ini men-judge orang untuk masuk
Islam,” katanya (SINDO, 23 Maret 2008)
Lha. Piye iki? Untuk kasus ini, selain mengecewakan bin mengkhianati
para pembaca novel tersebut, juga film ini menjadi kendaraan untuk
membohongi publik. Bukan hanya karena beda dengan cerita di novelnya, tapi
makna toleransi pun udah salah kaprah. Seharusnya kita berpikir, bahwa saat
ini orang nggak mudah (meski ada juga yang gampang terpengaruh) untuk
percaya begitu saja dengan isi film, jadi kekhawatiran akan menimbulkan
polemik jutsru berlebihan. Sebab, sejatinya polemik itu bisa saja terjadi.
Bandingkan dengan buku dan film The Da Vinci Code yang konon kabarnya bisa
mengguncang iman kaum kristiani karena isinya yang bisa menggoyahkan
keyakinan akidah mereka. Tapi, show must be go on. Pembaca dan penonton
yang akan menilainya langsung. Bisa pro bisa juga kontra. Nggak ada yang
perlu dikhawatirkan bukan?
Tapi kalo belum apa-apa sudah tidak berani menyuarakan kebenaran Islam,
apa yang mau dibanggakan? Prestasi penonton yang mencapai 3 juta orang
lebih tak berarti apa-apa—kecuali keuntungan secara materi dan
ketenaran—jika isinya meracuni keyakinan dan akidah kaum muslimin itu
sendiri. Itulah kenapa kita sangat menyayangkan isi film ini. Saya juga
nggak tahu kenapa penulis novelnya mau saja ceritanya diubah ketika
difilmkan. Apa pun alasannya, menurut saya, dalam pandangan ajaran Islam,
hal itu adalah sebuah kelalaian yang bisa berakibat fatal bagi pemahaman
kaum muslimin. Allahu’alam.
Bandingkan dengan film-film Hollywood yang seringkali menyisipkan
dialog yang menyudutkan Islam seperti di film Die Hard 4.0, Shooter, Eraser
dan lainnya yang secara terang-terangan berani menyebut kaum muslimin
sebagai teroris. Pertanyaannya, mengapa kita nggak berani menyampaikan
kebenaran itu? Mengapa adegan penting seperti masuk Islamnya dua tokoh
dalam film tersebut dihilangkan dengan alasan toleransi?
Sekadar mengingatkan bahwa toleransi tidaklah berarti mengakui
kebenaran agama mereka, tapi mengakui keberadaan agama mereka dalam
realitas bermasyarakat. Trus, toleransi juga bukan berarti kompromi atau
bersifat sinkretisme dalam keyakinan dan ibadah. Oya, sinkretisme adalah
menyamakan bahwa semua agama tuh benar. Padahal, kita tak boleh sama sekali
ngikuti agama dan ibadah mereka dengan alasan apapun (Drs. H. Yunahar
Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, hlm 210)
Lagian sikap kita udah jelas kok seperti yang udah diajarin Allah Swt.
dalam firmanNya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS al-Kaafiruun
[109]: 6)
So, menurut saya, justru dengan menghilangkan adegan penting masuk
Islamnya Maria dan Alice di film itu sudah tidak menghargai karya penulis
novelnya, juga seluruh kaum muslimin karena hak mereka untuk mendapatkan
informasi yang benar dan pemahaman yang shahih ‘dirampok’ oleh pembuat film
tersebut.
Belum lagi adegan di sebuah kendaraan umum yang menggambarkan dialog
antara Fahri dengan seorang penumpang yang ngotot tidak membolehkan orang
kafir Amerika untuk diberikan tempat duduk. Fahri digambarkan menyampaikan
pernyataan tentang ahlu dzimah tetapi keliru dan bukan pada tempatnya. Pada
dialog itu disebutkan:“Orang asing yang masuk ke dalam sebuah negara secara
sah berarti ia seorang ahlu dzimah yang harus dilindungi keselamatan dan
kehormatannya.”
Padahal yang dimaksud ahlu dzimah (kafir dzimmy) adalah orang
non-Muslim yang menjadi warga negara, yang hidup bersama mereka (kaum
Muslim) di Negara Islam (Daulah Khilafah, pen.), membayar jizyah dan taat
kepada hukum-hukum Islam, kecuali yang menyangkut praktik hukum yang diakui
untuk mereka, seperti hukum-hukum tentang akidah, ibadah, nikah, talak,
makanan (minum) dan pakaian. (Imam asy-Syafi’i, al-Umm, juz IV, hlm.
213—dikutip pada buku Jihad dan Perang, jilid I, karya Dr. Muhammad Khair
Haekal, hlm. 218)
Sabda Rasulullah saw.:”Barangsiapa yang membunuh seorang (kafir) yang
sedang terikat perjanjian (mu’ahadah) yang telah mendapat perlindungan dari
Allah dan RasulNya (dzimmiy), maka ia telah melanggar perlindungan
Allah—yakni mengkhianati perjanjian—dan dia tidak akan mencium baunya
surga, meskipun bau surga itu tercium dari jarak sejauh perjalanan yang
lamanya 40 musim gugur.”
Selain itu Ali bin Abi Thalib ra pernah mengatakan, “Sesungguhnya,
hanya dengan membayar jizyah, maka harta mereka berstatus sama seperti
harta kita dan darah mereka sama seperti darah kita.” (Muhammad Husain
Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, hlm. 211)
Persoalannya, Mesir--yang menjadi setting tempat dalam novel dan film
itu--bukan negara Islam. Mesir tuh negara sekular, sama dengan Indonesia
dan negeri Islam lainnya karena udah menerapkan sistem
Kapitalisme-Demokrasi dari Barat. Lagian, sampai saat ini, sejak keruntuhan
Khilafah Islamiyah pada 3 Maret 1924 belum berdiri lagi Khilafah Islamiyah
(Negara Islam), jadi penyebutan istilah ahlu dzimmah di film tersebut jelas
keliru banget dan nggak pada tempatnya.
Oya, ini bukan kritikan, tapi masukan tanda peduli dan cinta kepada
kaum muslimin. Jangan sampe isi film ini kemudian mempengaruhi dengan
mudah--meski saya akui tak mudah orang untuk terpengaruh begitu saja.
Apalagi jika isinya ternyata mengaburkan pemahaman Islam itu sendiri.
Jangan sampe kemudian film ini dijadikan senjata untuk melemahkan pemahaman
kaum muslimin secara perlahan-lahan. Masih mending dituduh teroris sehingga
masih bisa berontak dan menolak. Lha, kalo ‘dibodohi’, sulit orang bisa
berontak kecuali mereka yang sadar dan mengedepankan pemahaman, bukan
perasaan belaka.
Saatnya kampanyekan Islam apa adanya
Jangan menutupi kebenaran Islam, apalagi sampe menyimpangkan ayat-ayat
Allah dan sabda Rasulullah demi mendapat respon positif dan atas nama
dakwah yang katanya secara damai itu. Padahal sejatinya bukan tak mungkin
malah menikam Islam itu sendiri karena penyampaiannya yang keliru.
So, meski mungkin tulisan ini tak akan banyak terbaca karena disapu
gelombang informasi ‘sepihak’ tentang fenomena film ini, tapi paling nggak
kamu yang baca harus mulai berlatih menjadi cerdas dengan menjadikan Islam
sebagai pandangan dan pedoman hidup. Tentu, agar tetap mampu menyampaikan
Islam apa adanya. Jangan beralasan atas nama dakwah, tapi tindakannya malah
menghilangkan bagian yang semestinya disampaikan sebagai dakwah seperti
dalam film Ayat-Ayat Cinta ini. Apalagi kalo harus ngomongin aktivitas
pemainnya, gimanapun Fedi Nuril ama Rianti Cartwright bukan mahram dalam
kehidupan nyata, kok bisa mesraan gitu di film? Apa karena atas nama
dakwah? Halah, dakwah kok jadi hiburan dan tambang uang para kapitalis.
Musibah…

Sumber : osolihin: sholihin@gmx.net]




Seja o primeiro a comentar

Followers

Recent Comments

  ©AanWahyu.blogspot.com. Template by Dicas Blogger.

TOPO